Senin, 06 Agustus 2012
Alasan untuk hidup-Everyone Worth Knowing#1
Salah satu buku dari penulis fashion Lauren Weisberger (Penulis The Devil Wear Prada)
Ini buku yang lagi aku baca.
Aku ga begitu suka juga novel novel terjemahan. Orang luar tu kalo nulis cenderung blak blakan abiiis.
Semua hal di deskripsiin dengan amat detail.
Deskripsi rasa, deskripsi bentuk, sifat, tingkah laku, semuanya aja deh.
Mungkin itu juga kali yang bikin sebagian orang cepet ngantuk kalo baca novel yang terlalu banyak deskripsi.
Sampe kadang kita ga ngonek paragrafnya ceritain tentang apa, setting tempatnya lagi di mana, apa yang lagi diobrolin, karna saking terlalu banyaknya deskripsi yang kayanya ga penting banget buat dijelasin. Cuma menuh menuhin halaman dan bikin bukunya lama tamat.
Tapi buku ini lumayan bikin penasaran juga karna dari sekian banyak kalimat yang bikin ga ngertinya, beberapa ada yang bisa dijadiin acuan belajar nulis juga, atau cuma cerita yang bisa diambil hikmahnya.
Salah satunya cuplikan paragraf ini: (hal 113-117)
"Oh my God, coba lihat itu" desis Elisa.
Aku mengikuti tatapannya ke arah seorang wanita kurus tinggi yang mengenakan jins biasa dan blazer hitam standar. Rambutnya coklat kusam dan tubuhnya biasa saja, dan segala sesuatu tentang dirinya berkata, 'biasa-biasa saja'.
Antusiasme Elisa mengindikasikan bahwa wanita itu selebriti, tapi dia sama sekali tidak terlihat familier bagiku.
"Siapa sih?" Tanyaku sambil mencondongkan tubuh. Aku tidak benar-benar peduli, tapi ku kira harus.
"Bukan 'siapa' tapi 'apa'" Dia benar benar menjerit ketika berbisik. Dia belum mengalihkan tatapan dari wanita itu.
"Apa?" Tanyaku masih kebingungan.
"Apa maksudmu 'apa'? Kau bercanda ya? Kau tidak lihat itu? butuh kacamata?" Aku menyangka dia sedang mengolok olokku, tapi dia merogoh tas superbesarnya dan mengeluarkan kacamata. "Nih pakai dan lihat itu".
Aku terus menatap, bingung, sampai Elisa membungkuk dan berkata. "Lihat tasnya, coba lihat, dan katakan itu bukan benda terindah yang pernah kau lihat."
Mataku beralih ke tas kulit besar yang digantungkan di ceruk siku wanita yang sedang memesan kopi itu. Ketika membayar, dia meletakkan tas itu di konter, merogoh-rogoh dan mengeluarkan dompet, lalu mengembalikan tas ke lengannya. Elisa mengerang, buatku tas itu biasa saja, hanya lebih besar.
"Oh my God, aku hampir tak tahan, sungguh mengagumkan. itu Birkin Crocodile. Yang paling langka."
"Apa?" Tanyaku. Aku mempertimbangkan untuk pura-pura tahu apa yang dia ocehkan, tapi rasanya sungguh merepotkan untuk hari ini.
Dia mendelik padaku, mengamati wajahku, seakan-akan baru ingat aku ada di sana. "Kau benar-benar tidak tahu ya?"
Aku menggeleng.
Dia menghela nafas panjang, meneguk kopi untuk menguatkan diri, dan meletakkan tangan di atas tanganku seakan ingin berkata, Sekarang dengar baik-baik karena aku akan menyampaikan informasi yang sangat kau butuhkan. "Kau pernah dengar Hermes, kan?"
Aku mengangguk dan melihat gelombang kelegaan menyapu wajahnya. "Tentu. Pamanku mengenakan dasinya setiap saat."
"Ya, well, yang lebih penting dari dasi adalah tasnya. Gebrakan besar tas pertama adalah tas Kelly, dari Grace Kelly ketika dia mulai membawa tas itu. Tapi yang lebih besar -seribu kali lebih bergengsi- adalah Birkin."
Dia menatapku penuh harap dan aku menggumam. "Mm., kelihatannya bagus. Tas yang sangat bagus."
Elisa mendesah. 'Tentu saja. Yang itu mungkin harganya sekitar 20 ribuan. Harga yang sangat pantas."
Napasku terkesiap begitu cepat sampai-sampai aku tersedak. "Berapa? Becanda. Gak mungkin! Itu kan cuma tas."
"Itu bukan tas, Bette, itu gaya hidup. Aku akan langsung membayarnya kalau saja bisa memilikinya."
"Memangnya ada orang mengantre untuk menghabiskan uang sebanyak itu demi sebuah tas?" tanyaku. Yang, menurutku, terdengar sangat logis saat itu. Aku tidak tahu betapa bodoh aku kedengarannya, tapi untungnya Elisa siap memberitahuku.
"Astaga Bette, kau benar benar tidak tahu ya? Kurasa tidak ada orang di planet ini yang tidak mendaftar untuk Birkin. Mendaftarlah, dan mungkin -hanya mungkin- kau akan mendapatkannya tepat waktu untuk menghadiahkannya pada putrimu suatu saat nanti."
"Putriku? 20 ribu dolar untuk satu tas? Yang benar saja."
Elisa menyerah karena frustasi dan menempelkan dahi di meja "Tidak, tidak, tidak," erangnya seakan-akan sedang merasakan kesakitan yang luar biasa. "Kau nggak mengerti. Itu bukan sekedar tas. Itu gaya hidup. Pernyataan. Alasan untuk hidup."
Aku tertawa menanggapi melodramanya. Elisa langsung duduk tegak dan mulai bicara dengan kecepatan tinggi.
"Aku punya teman yang mengalami depresi hebat setelah nenek kesayangannya meninggal dan pacarnya selama tiga tahun putus dengannya. Dia tidak bisa makan, tidak bisa tidur, tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Dia dipecat karena tidk pernah datang ke tmpat kerja. Kantong besar menggelap di bawah matanya. Dia menolak bertemu siapapun. Tidak pernah menjawab telepon. Ketika akhirnya aku datang ke apartemennya setelah berbulan-bulan dia seperti itu. Dia mengaku ingin bunuh diri."
"Parah sekali" gumamku, masih berusaha memahami perubahan topik yang mendadak ini.
"Yeah parah banget, tapi kau tau apa yang membutnya berubah? Aku mampir di butik Hermes waktu hendak mengunjunginya, meminta update.. siapa tahu. Dan kau tahu? Aku memberitahunya bahwa dia hanya beranjak 18 bulan dari Birkin-nya. Kau percaya itu? 18 bulan!"
"Apa katanya?" tanyaku.
"Menurutmu dia bilang apa? Dia kegirangan setengah mati! Terakhir kali dia memeriksa daftar, antreannya mungkin masih sekita 5 tahun, tapi mereka melatih sekelompok perajin baru, dan namanya maju untuk daftar satu setengah tahun. Dia langsung mandi saat itu juga dan setuju makan siang bersamaku. Itu enam bulan lalu. Sejak saat itu dia mendapatkan pekerjaannya kembali dan pacar baru. Kau mengerti? Birkin memberinya alasan untuk hidup! Kau tidak bisa bunuh diri ketika kau sudah begitu dekat...pokoknya itu buakn pilihan."
Sekarang giliranku untuk memastikan dia tidak bercanda. Tidak. Bahkan, Elisa terlihat begitu berbinar-binar ketika menceritakan kisah itu. Seakan-akan dia terinpirasi untuk menjalani hidupnya semaksimal mungkin. Aku berterima kasih padanya karena mendidikku tentang Birkin dan bertanya-tanya apa, tepatnya, yang kupelajari. ini jauh sekali dari investasi perbankan, dan jelas banyak yang harus kupelajari.
***
Bette adalah gambaran tentang orang awam yang gak tau apa itu Birkin dan kenapa bisa sebegitunya digilai para fashionista model Elisa, sampai bisa nyelametin orang yang niatnya pengen bunuh diri.
Itu the power of apa ya.
Bener kata Bette, tepatnya apa yang dipelajari.
Tentang Birkinnya yang oh so great itu. Atau tentang manusianya yang entah bagaimana bisa berfikir sampe sebegitunya. Itu gaya hidup. Pernyataan. Alasan untuk hidup. Katanya.
Tapi aku hingga saat ini untunglah ga menemukan alasan salah satu barang yang aku punya bisa jadi alasan unutk hidup. Tidak juga dengan merk merk yang dinilai bergengsi dan bisa menilai harga orang memakainya itu. Aku sih ogah banget diliatin orang demi mastiin 'apa' yang nempel di badanku dan menilai sesuka hati mereka. Bukannya tau 'siapa' aku. That's judge a human from the cover.
Mending biasa biasa aja hingga orang ga bisa menilai berapa harga kita hanya dari apa yang kita pakai, sebaliknya kita tak ternilai dengan semua yang terlihat itu.
Untunglah, novel kaya gini bikin aku cukup tau aja ada loh orang orang yang berani mati demi gaya hidup mereka, tapi ga kebayang juga kalo beneran ada orang yang selalu berpegang teguh pada hal hal kaya gini. Mungkin nanti nanti manusia kenalan bakal tanya dulu "Tas kamu apa?" bukannya "Nama kamu siapa?"
Tinggal tunggu waktunya aja mungkin, atau di belahan dunia lain udah ada model kenalan kaya gini?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar