Author

Selasa, 11 Maret 2014

Tentang Sendiri

Aku selalu menikmati waktu bersama diriku, sendiri. Sampai orang lain yang ada disekitarku akan merasa terasing, aku tak mengenali mereka, atau mereka tak mau mengenaliku.
Sepertinya menakutkan jika harus manjalani segala hal dalam hidup ini sendiri.  Aku memilih menikmati ketakutan itu.
Berbincang sendiri. Menikmati pagi sendiri. Lari pagi sendiri. Sarapan sendiri. Menunggu sore sendiri. Hingga mata akan menutup kembali dan kenyataannya masih dalam kesendirian.
Orang orang yang berlalu lalang hanya partikel yang bersinggunggan. Dan ada banyak partikel di dunia ini yang beterbangan. Saling bersentuhan satu sama lain. Akan tiba saat partikel itu mengendap di suatu tempat, di sanalah ia akan bertemu dengan yang menetap dalam peredarannya. Partikel lain yang bernasib sama dengannya.
Debu di sudut ruangan.
Hal yang menakutkan hanya pantas dirasakan sendiri. Tidak untuk dibagi dan dirasakan bersama karena itu artinya kamu menyebarkan ketakutan.
Setakut apapun, pasti akan ada kekuatan berani yang mengimbanginya. Jangan dipungkiri jika segala hal di dunia ini diciptakan berpasangan.
Termasuk di dalamnya ketakutanku akan kehilanganmu namun aku masih berani menghadapi kemungkinan menghilangnya kamu.
Mungkin kamu akan menjadi irisan bagi kehidupan yang lainnya. Irisan yang lebih baik, yang melengkapi puzzle terakhir.
Mungkin kamu akan kembali menemuiku dengan kehidupan kita yang lebih baik karena kita telah memperbaikinya sendiri sebelum memutuskan untuk bersatu kembali.
Aku akan menerima semua kemungkinannya, dengan berani.
Tangis punya batas. Air mata kita tidak diciptakan untuk terus memproduksi tiada henti. Kamu akan lelah menangis dan memilih diam karena tak ada tangis yang menyelesaikan kehawatiran. Tangis menjadi penegasan bahwa kerapuhan dan ketakutan adalah bagian terbesar darimu ketika itu.
Kamu yang terdiri dari segala hal yang dapat membuatmu jatuh.
Dan aku salah satu alasanmu. Gravitasi menjadi alasan tambahan.
Waktuku usai. Aku boleh pergi sebelum kamu pergi. Karena aku tak ingin ditinggalkan dalam diam. Setidaknya ada kata yang melepasku pergi, seperti, ‘semoga kita bertemu lagi di kehidupan yang lain.
Aku tak yakin kehidupan lain bagian mana yang akan mempertemukanku lagi denganmu. Akan jadi bagian apa aku di dalamnya nanti.
Karena semesta hanya bagian dari kebetulan yang disengaja, yang dulunya menemukan aku denganmu, yang memberi kesempatan pada partikel kita untuk bersinggungan. Lalu kembali diterbangkan tanpa tujuan. Kita memutuskan menetap tapi tak ada ketetapan yang abadi. Selalu ada ancaman, kita akan berpisah lagi. Oleh angin, oleh kucing, oleh sapu, atau bahkan oleh kemoceng ibumu. Untuk kemudian dipertemukan kembali atau tidak, itu bagian rancangan dari semesta yang lainnya.

Partikelku terbang lagi. Mencari sudut di ruang lain. Entah di mana, tapi aku tak boleh berhenti terapung dan harus terus  bersinggungan dengan partikel  lainnya. Atau aku memilih diam dan bertumpuk dengan partikel lain yang suatu hari pasti akan dipaksa pergi juga. Oleh angin, oleh kucing, oleh sapu, atau bahkan oleh kemoceng ibumu.