Aku selalu menikmati waktu bersama diriku, sendiri. Sampai orang
lain yang ada disekitarku akan merasa terasing, aku tak mengenali mereka, atau
mereka tak mau mengenaliku.
Sepertinya menakutkan jika harus manjalani segala hal dalam
hidup ini sendiri. Aku memilih menikmati
ketakutan itu.
Berbincang sendiri. Menikmati pagi sendiri. Lari pagi
sendiri. Sarapan sendiri. Menunggu sore sendiri. Hingga mata akan menutup
kembali dan kenyataannya masih dalam kesendirian.
Orang orang yang berlalu lalang hanya partikel yang
bersinggunggan. Dan ada banyak partikel di dunia ini yang beterbangan. Saling bersentuhan
satu sama lain. Akan tiba saat partikel itu mengendap di suatu tempat, di
sanalah ia akan bertemu dengan yang menetap dalam peredarannya. Partikel lain
yang bernasib sama dengannya.
Hal yang menakutkan hanya pantas dirasakan sendiri. Tidak untuk
dibagi dan dirasakan bersama karena itu artinya kamu menyebarkan ketakutan.
Setakut apapun, pasti akan ada kekuatan berani yang
mengimbanginya. Jangan dipungkiri jika segala hal di dunia ini diciptakan
berpasangan.
Termasuk di dalamnya ketakutanku akan kehilanganmu namun aku
masih berani menghadapi kemungkinan menghilangnya kamu.
Mungkin kamu akan menjadi irisan bagi kehidupan yang
lainnya. Irisan yang lebih baik, yang melengkapi puzzle terakhir.
Mungkin kamu akan kembali menemuiku dengan kehidupan kita
yang lebih baik karena kita telah memperbaikinya sendiri sebelum memutuskan
untuk bersatu kembali.
Aku akan menerima semua kemungkinannya, dengan berani.
Tangis punya batas. Air mata kita tidak diciptakan untuk
terus memproduksi tiada henti. Kamu akan lelah menangis dan memilih diam karena
tak ada tangis yang menyelesaikan kehawatiran. Tangis menjadi penegasan bahwa
kerapuhan dan ketakutan adalah bagian terbesar darimu ketika itu.
Kamu yang terdiri dari segala hal yang dapat membuatmu
jatuh.
Dan aku salah satu alasanmu. Gravitasi menjadi alasan
tambahan.
Waktuku usai. Aku boleh pergi sebelum kamu pergi. Karena aku
tak ingin ditinggalkan dalam diam. Setidaknya ada kata yang melepasku pergi,
seperti, ‘semoga kita bertemu lagi di kehidupan yang lain.’
Aku tak yakin kehidupan lain bagian mana yang akan
mempertemukanku lagi denganmu. Akan jadi bagian apa aku di dalamnya nanti.
Karena semesta hanya bagian dari kebetulan yang disengaja,
yang dulunya menemukan aku denganmu, yang memberi kesempatan pada partikel kita
untuk bersinggungan. Lalu kembali diterbangkan tanpa tujuan. Kita memutuskan
menetap tapi tak ada ketetapan yang abadi. Selalu ada ancaman, kita akan
berpisah lagi. Oleh angin, oleh kucing, oleh sapu, atau bahkan oleh kemoceng
ibumu. Untuk kemudian dipertemukan kembali atau tidak, itu bagian rancangan
dari semesta yang lainnya.
Partikelku terbang lagi. Mencari sudut di ruang lain. Entah di
mana, tapi aku tak boleh berhenti terapung dan harus terus bersinggungan dengan partikel lainnya. Atau aku memilih diam dan bertumpuk
dengan partikel lain yang suatu hari pasti akan dipaksa pergi juga. Oleh angin,
oleh kucing, oleh sapu, atau bahkan oleh kemoceng ibumu.