Author

Kamis, 13 Februari 2014

Seafood Jendral

Suatu malam yang dijadwalkan harus mengikuti acara jamuan makan malam untuk seorang tamu yang bertitle jendral bintang sekian dari jajaran kepolisian, aku diajak untuk ikut. Lebih tepatnya harus ikut.

Malas sebenarnya. Bukan karena tidak ingin memenuhi permintaan, tapi merasa bingung sendiri, di sana pun nanti pasti ga akan banyak ngomong apa-apa, cuma ikut hadir raga tapi jiwa entah di mana. Kegiatan bingung ini pasti berkepanjangan.
Bingung pake bajunya apa buat menghadiri makan malam dengan seorang jendral yang dihormatinya udah kelebihan kadang-kadang sama orang-orang.
Bingung sendal pun masih ada yang itu itu aja. Crocs putih-ungu yang umurnya udah sekitar 4 tahun tapi belum ada penggantinya lagi.
Keputusannya tampil biasa aja lah, toh statusku pun cuma 'menemani' tuan rumah penerima tamu.
Yang penting pakaian sopan itu udah cukup. Sopan di sini adalah pake atasan kemeja blaster item-putih yang biasa dipake buat ngantor warisan dari Teteh dan celana bahan item yang dibeli dari pasar Senen obralan. Dibalut jaket buat jagain raga dan jiwa. jagain dari dingin malam dan jagain dari kemungkinan adanya yang punya tatapan from-head-to-toe untuk menilai 'gaun-malam' ini.


Jalanan malam yang lenggang membuat mobil rombongan segera sampai ke tempat tujuan. sebuah rumah makan sederhana tapi dikategorikan yang recommended untuk seafood yang disajikannya.
Turun dari mobil, tamu udah dateng, tuan rumah yang baru turun langsung disambut dan diajak buat segera bergabung dengan rombongan lain yang udah dateng duluan. Aku kikuk. Antara menarik crocs ini mengikuti teman yang tuan rumah itu sekaligus Bos ku juga. Atau diam aja di luar nunggu acara malam itu segera berakhir. Kalo boleh milih mending diem aja di kamar. Nonton apa atau baca apa tanpa ada perasaan jiwa ter-bully seperti ini.
"Eh ayo bu silahkan masuk, sudah ditunggu." sapa seseorang pada teman yang sudah jalan duluan. Tas tentengnya yang bermerk ternama itu seolah menegaskan siapa ia, belum lagi senyum ramah dan dandanan penuh percaya diri. tak ada orang yang tak mengenalnya di tempat itu. pasti seseorang pun telah memerintahkan harus bagaimana jika nanti ia datang.
Aku mengekor, berharap bisa berubah jadi kucing dan langsung menyelinap ke dapur tanpa perlu terlibat pertemuan yang aku tebak bahasannya pasti 'bukan-makananku'.
Hampir kaki masuk lebih jauh ke dalam, dibelakangnya, tiba tiba seseorang menghampiri.
Sebut saja ia Bang D. Ia memanggil. Aku meninggalkan jejak yang hampir setengah ruangan itu. keluar lagi memenuhi panggilan bang D.
"Indah, kamu ngapain ikut ke sana, diem aja sini di luar sama abang. Itu husus buat Nyonya sama bos sama tamu. Kalo mau makan pesen aja dari luar"

Degg.
Aku mundur. lebih jauh. ga ada nafsu makan. mau pulang.
Aku ga minta buat ada di sini. Aku juga ga mohon mohon biar bisa makan semeja sama para nyonya besar dan jendral itu.
Tapi masih ada senyum yang aku usahakan. Percuma kalo merasa makin 'jatoh' juga toh udah 'jatoh' dari sebelum dateng ke tempat ini. Lanjutin ajalah permainannya. Mau tau endingnya kaya gimana.
"Tapi bang, tadi indah diajak sama Tata." aku menyebutkan nama teman yang sekaligus bosku itu, istri bos besar.
Aneh rasanya ada di percakapan yang menjadikannya terasa terlalu 'jauh' untuk aku jangkau seperti ini. Aku ingin menemaninya. Sebagai teman.Tapi bang D yang merupakan orang kepercayaan bos besar pastilah tidak akan setuju dengan argumenku. Jadilah aku diam di luar saja, biar ikutin apa yang bang D mau. Menarik nafas dalam dalam. Menahan ga ada air mata yang jatuh.
Langit yang makin pekat tapi kilau bintang menjadikannya tetap terlihat indah. menenangkan. Mencari ada celah nyaman yang bisa aku tembus di sana.
Seseorang berseragam datang lagi menghampiri. Kali ini aku tebak pastilah ia dari rombongan jendral ini.
"Mbak ko ga masuk." sapanya hangat. dari tatapannya aku tau pastilah ia orang jawa, bukan penduduk asli pulau ini.
Aku hanya tersenyum, tidak menjawab, bang D yang menimpali.
"Biarlah dia sama kita di sini. Di dalam biar nyonya sama pak jendral aja." katanya langsung. Aku tak peduli. Menengok ke dalam sebentar hawatir Tata mencariku yang tiba tiba menghilang.
"Eh masuk aja sana mbak, itu kursinya udah saya siapin kok. makanannya juga udah pesen banyak. Mba ini masih keluarganya bos kan?" dia menyebut bos besarku.
"Bukan pak, saya cuma bagian keuangan beliau aja." jawabku masih dengan muka yang kuatur mimiknya sebaik mungkin.
"Tuh kan, iya masuk aja. ngapain di luar. D, biarin dia masuk." Ia mengarahkan pandangannya pada Bang D, ada lega sedikit yang menyelinap.
Tanpa menunggu jawaban Bang D, aku segera masuk ke dalam lagi. Biar saja dia berargumen dengan mas tadi yang ternyata driver pak Jendral.
Aku hanya ingin segera mengakhiri malam ini. Secepatnya.
Masuk saja, lalu makan sepuasnya, setidaknya aku tidak membuat kekacauan apapun, dan aku telah memenuhi permintaan Tata untuk menghadiri jamuan ini.

"Ke mana aja lo, gue cari juga." Tata langsung mengisyaratkan di mana aku seharusnya duduk. Segalanya membingungkan. Aku bingung apakah aku harus mengambil nasi duluan, seberapa banyak nasi yang aku ambil, bahkan aku bingung apa yang akan aku makan juga.
Ada ikan goreng harum menggoda dihadapanku tapi ikan ini juga dimakan oleh ibu jendral. Sudah tentu aku tidak seharusnya makan makanan yang sama. Ada sop ikan yang dari aromanya saja membuatku tidak berselera. Terlalu asam.
Ada juga cumi goreng yang amat sangat memikat selera tapi sepertinya itu juga menu favorit para tamu ini.
Pilihan jatuh pada ayam dan sayur kangkung balacan yang jarang di sentuh orang.
Di rumah makan seafood siapa yang makan ayam kan. 
Obrolan demi obrolan berjalan lancar, aku menanggapi dengan senyum lagi, senyum lagi, senyum lagi.
Itu pun hanya jika namaku ikut disebut. Misal:
"nih indah pertama datang ke sini, langsung dibombardirnya sama seafood. Iya kan ndah." bos menatap meminta persetujuan ceritanya, aku tersenyum, mengangguk sopan, melemparkan tatapan konfirmasi kepada para pendengar.

Aku merasa jiwaku tidak di sana, ada bersama ayam yang aku makan, masuk ke perut. Aku juga mau masuk ke perut. Perut bumi.
Sampai pada sesi perkenalan 'lo-siapa'.
Diawali dengan mengenalkan Tata, teman sekaligus bos ku juga.
"Istri saya ini bu, orang tuanya dulu sesepuh di bla bla bla. Gubernurnya bla bla bla juga kan masih sepupuan sama orang tua istri saya." dan penonton mengangguk angguk terkesima. Tata tersipu.
"Nah kalo ini bagian keuangan saya."
Tok. sampe sana aja.
I know, ga ada yang dibanggain dari silsilah 'siapa-aku'.
Indah ya indah. ga liat siapa orang tuanya. ga liat siapa kakenya neneknya.
Indah ya cuma indah. Tapi aku bangga juga dengan siapa indah yang ini.
Yang udah sampai sini. Merelakan hati untuk menampung pengalaman yang sakit, yang manis, yang pait, tapi bisa semakin mengkayakan jiwanya.

Aku semakin ingin menghilang. Kalo ada jubah harry potter yang buat ngilang itu mungkin bisa aku pake untuk acara seperti ini. Eh tapi ga menolong juga memang. Tata pasti bakal nyari nyari wujud nyataku.
Cukuplah pertemuan malam ini jadi pelajaran. Saat terjadi pertemuan serupa, ada baiknya aku menyimpan pikiranku di tempat lain. Memikirkan lagi mamam pop corn sambil nonton Edward Cullen yang gantengnya kebangetan itu misalnya. that's will be better

Universitas kehidupan tidak akan pernah sepi ujian, jangan lupa belajar mengambil pelajaran dari setiap scenenya. pasti ada jalan buat nemuin diri sendiri di sana.,

i know aunty, i know