Perihal Dangdutan yang Merisihkan

Kemarin baru saja datang ke acara nikahan temannya pacar.
Saya setiap kali mendatangi acara nikahan suka ada aja bagian risih sendirinya kalo ada hiburan yang bernama dangdutan.
Memang ini tradisi di hampir merata di semua wilayah jawa mungkin ya, setiap nikahan ada hiburan yang kontennya adalah dangdutan. Bukan hanya nikahan saja, acara lainnya pun seperti sunatan, sukuran dan yang sejenisnya, biasanya suka ada dangdutannya.
Masih bisa ditolerir kalo dangdutnya sopan. Kategori sopan kalo menurut saya yang penyanyinya ga usah manggil bapak bapak kegatelan buat naik panggung dan minta duit saweran.
yang pakaiannya ga bikin orang yang liat jadi malu sendiri liatnya.
yang nonton kan bukan cuma orang dewasa yang udah ngerti itu yang disodorin hiburan macam apa, tapi anak kecil yang bahkan nontonnya dengan mata polos dan mulut yang menganga pun merhatiin itu ada cewek yang dikelilingin bapak bapak berkalung batu akik lagi joget sok asik. Bagaimana mereka mencerna pemandangan yang seperti itu coba.
Untuk orang dewasa mungkin hiburan, tapi hiburan tersebut jadi hal yang merisihkan kalo sudah sampai ke bagian bapak-bapak-yang-naik-ke-panggung-lalu-joget-joget. Jangankan untuk anak kecil yang memang ga pantas untuk diliat, saya suka nunduk liatin HP aja kalo ada di kondisi yang seperti itu.
Dan kenapa jogetnya harus hadap hadapan banget sama biduannya, sampe yang nonton di bawah tu keliatannya punggung si Bapaknya aja karena pemandangan biduan udah ketutupin sama badan lebar si Bapak yang lagi joget sok asik.

Bukan dangdutnya yang salah, bagaimanapun itu salah satu tradisi masyarakat Indonesia bahkan jadi musik khasnya Indonesia, dangdut.
Dangdut hanya genre musik. Para pelaku seni yang menggunakan genre tersebut untuk berkaryalah yang bisa mengaplikasikan dangdut menjadi musik yang lebih enak didengar dan dilihat.

Untuk beberapa daerah bahkan perhelatan dangdut sudah jadi pesta rakyat yang merupakan hiburan utama dan bisa diadakan hingga larut malam bahkan bermalam malam (bukan lagi berhari hari).
Kejadian 'pesta rakyat' hingga bermalam malam ini pernah saya alamin di Belitung.lebih tepatnya saya hanya 'ngelewatin' daerah pesta rakyatnya.
Ceritanya malam itu adalah jadwal pengiriman timah dari Belitung ke Jakarta, saya ikut crew yang bertugas mendampingi truk timah untuk nunggu jadwal truk masuk ke kapal di pelabuhan.
Biasanya saya ga pernah ikut, tapi saya ingin nyobain jalan jalan di Belitung malam hari. Jangan bayangin jalan yang kanan kirinya rumah penduduk, tapi jalan menuju pelabuhan itu kanan kirinya lebih banyak hutannya daripada rumah penduduknya, hanya sesekali kita melewati kawasan yang diterangi lampu remang dari rumah penduduk. Selebihnya lebih banyak sunyi senyap dan krik krik kegelapan malam. Perjalanan malam waktu itu sekitar pukul 21.00. Selama di jalan lancar, ga ada macetnya (yakali siapa yang bikin macet di hutan begitu).
Tapi sampai di suatu daerah, terasa agak berbeda, lampu lampu lebih terang, banyak pedagang seperti pasar malam. Saya yang tadinya ngantuk di jok baris kedua langsung longok longok keluar jendela, penasaran ada keramaian apa jam segitu, hampir jam 10 malam pula di hutan Belitung, jangan jangan lagi ada temennya Neng Kunti ulang tahun.
Mobil semakin menurunkan kecepatan seiring dengan semakin padatnya jalan yang kami lalui.
Kanan kiri jalan semakin dipenuhi orang orang yang nongkrong dan pedangan dadakan.
Semakin mendekati sumber keramaian semakin jelas terdengan suara penyanyi wanita yang pas pas an.
Karena penasaran saya sengaja membuka jendela dan supaya keliatan wujud penyanyinya seperti apa.
Bang Morgan menyarankan
"Indah baiknya ndak usah liat, nanti kaget sendiri." Tapi aku ngotot mumpung mobil juga jalannya lagi pelan.

Setelahnya saya gak bisa membedakan itu lagi dangdutan atau lagi pameran busana dalam.
Pakai baju sih, tapi kalo bajunya transparan dan kurang bahan penonton menikmati bagian mananya.
Lagunya, atau yang menyanyikannya.
Kalo udah begitu sepertinya isi lagu mau apapun juga udah ga penting.
Pemandangan yang hanya terlihat sekilas itu langsung bikin saya speechless selama sisa perjalanan.
Kalo sudah begitu bukan hal yang aneh acara semacam ini minuman keras laku keras juga.
Yang makin miris adalah, ada loh Bapak Bapak yang bawa anaknya dan didudukin di bahu sambil dia sendiri ikut joget.
Pertama kalinya saya lihat dangdutan se-ekstrim itu secara live beberapa detik.
Sampai sekarang saya liat acara dangdutan yang digelar dengan biduan minta disawer uang itu rada rada begidik kalo inget lagi ke kejadian malam di Belitung.

Malam itu pulang dari pelabuhan sekitar jam 1 malam, saya masih lewat jalan yang sama. Saya kira acara sudah beres karena sudah lewat dari tengah malam.
Tapi ternyata pertunjukkan belum usai. Masih ada suara hingar orang bersorak, masih banyak pedagang kaki lima belum tutup lapak. Apalagi warung warung kecil yang menjajakan minuman masih ramai dengan pelanggannya. Saya udah ga mau liat preview panggung seperti apa. Mending segera menemui jalanan yang kanan kiri hutan daripada dicegat manusia jadi jadian kan.

Lalu, bagaimana dengan 'Dangdut is the music of my country' tagline?
Feel proud, eh?

*Saat menulis ini saya mencari gambar yang cocok untuk postingan tapi setiap memasukkan keyword dangdut di Google yang muncul lagi lagi gambar merisihkan, duh duh*

Whatever ...